Youth Receptivity to FDA's The Real Cost Tobacco Prevention Campaign: Evidence From Message Pretesting / Penerimaan Remaja terhadap Program "The Real Cost" dari FDA sebagai Kampanye Pencegahan Merokok: Bukti dari Pesan Sebelum Pelaksanaan

Jurnal ini membahas penerimaan remaja terhadap program dari FDA (Food and Drug Administration)  The Real Cost sebagai suatu percobaan kampanye pencegahan merokok.

Kampanye dilakukan pada bulan februari tahun 2014 dengan membuat 
total remaja 3258 yang berusia 13 hingga 17 tahun diacak untuk mendapatkan intervensi melihat iklan kampanye dan tidak mendapatkan paparan iklan sebagai grup kontrol.sampel  58% perokok eksperimental, 42 % tidak merokok namun memiliki resiko tinggi untuk memulai. 

Prosedur:
prosedur dilakukan secara daring (online) dengan mengisi survei secara mandiri melalui COMFIRMIT , sebuah pusat survei berbasis daring. partisipan mengisi survei bisa melalui komputer/laptop/tablet masing masing. sebelumnya akan diberikan pertanyaan dasar mengenai latarvelakan dan pengalaman merokok tiap peserta. lalu peserta yang dipaparkan oleh iklan akan diberikan 1 atau lebih iklan tersebut lalu mejawab pertanyaan selanjutnya yang berisi evaluasi untuk luaran yang diinginkan.
Intervensi : 

  1. Grup Kontrol
  2. Studi 1 hanya ditunjukkan 2 contoh iklan
  3. Studi 2 hanya ditunjukan 1 contoh iklan
  4. Studi 3 hanya ditunjukan 1 contoh iklan



Lalu peserta mendapatkan 20$ sebagai kompensasi dari waktu yang telah mereka luangkan untuk mengisi survei.
14 contoh iklan diberikan :



Hal yang dinilai sesuai dengan ke 3 studi tadi, yaitu efektivitas iklan yang dirasakan, keyakinan terhadap merokok, dan sikap terhadap merokok sebagai luaran (outcome)

Menurut para partisipan yang menerima iklan tersebut, iklan dikatakan efektif dengan skor 3.66 (skor dari 1-5). Bila dibandingkan dengan kontrol grup, grup penerima iklan memiliki keyakinan lebih kuat akan resiko bahaya merokok, dan keyakinan bahwa merokok dapat menyebabkan pada situasi yang membuat kita kehilangan kontrol akan hidup kita dan tentunya sikap menolak merokok. 



Evidenced Based Breast-Feeding Promotion : The Baby-Friendly Hospital Initiative



The Baby-Friendly Hospital Initiative (BFHI) adalah alat translasi yang dikembangkan oleh WHO dan UNICEF untuk mempromosikan pemberian ASI (BF) di bangsal bersalin di seluruh dunia. BFHI secara resmi diluncurkan pada tahun 1980 berdasarkan pada pendekatan ''akal sehat.
Sejak itu, penelitian yang dilakukan di Amerika Latin telah menunjukkan bahwa BFHI sangat hemat biaya. Tren BF selama 2 dekade terakhir
sangat mendukung bahwa BFHI telah memiliki dampak global pada hasil BF. Langkah 10 BFHI terkait dengan promosi BF berbasis komunitas adalah salah satu yang paling menantang untuk mengatasi. Randomised controlled trial yang dilakukan di Amerika, Asia, dan Afrika sub-Sahara menunjukkan bahwa konseling sebaya adalah alat yang sangat berkhasiat untuk meningkatkan tingkat EBF. Sistem pemantauan respon cepat yang murah diperlukan untuk memantau pelaksanaan yang tepat dan administrasi langkah BFHI. Pendekatan ini sangat penting untuk reenergizing yang BFHI di seluruh dunia.
Program BFHI ini terdiri dari 10 langkah utama yaitu 

Referensi :
http://jn.nutrition.org/content/137/2/484.full.pdf


The Impact of Mother-to-Mother Support on Optimal Breastfeeding : controlled community intervention trial in peri-urban Guatemala City, Guatemala

 

La Leche League Guatemala, sebuah organisasi non profit mengembangkan program pelatihan relawan konselor menyusui di pinggiran koota Guatemala. Program ini dumulai pada tahun 1999. Konselor menerima pelatihan dan tindak lanjut dari LLLG untuk melaksanakan promosi dan dukungan kegiatan menyusui di masyarakat tempat mereka tinggal. Konselor memfasilitasi kelompok dukungan ibu-ke-ibu; mengunjungi wanita di rumah mereka; melakukan kontak informal pada perempuan di bus, di pasar, dan di tempat umum lainnya; dan merujuk perempuan ke klinik kesehatan terdekat untuk melakukan manajemen laktasi untuk masalah-masalah yang tidak dapat ditangani para konselor.
Fokus utama dari kerja konselor adalah memfasilitasi kelompok dukungan ibu-ke-bu melalui kunjungan periodik rumah. Kelompok dukungan ibu-ke-ibu biasanya diadakan bulanan di rumah peserta atau di gereja-gereja, sekolah, atau tempat umum lainnya. Selama pertemuan, konselor memperkenalkan salah satu dari empat topik utama: 1) Keuntungan dari menyusui, 2) Proses awal menyusui, termasuk teknik untuk menyusui, 3) Kesulitan menyusui dan cara mengatasinya, dan 4) Makanan pendamping ASI. Untuk memfasilitasi diskusi dan pembelajaran, Organisasi ini menggunakan poster kain besar untuk setiap topik. Selama pertemuan kelompok, konselor tidak hanya memberikan dorongan kepada ibu untuk menyusui tetapi mendukung mereka dalam keputusan jenis makanan bayinya apakah ibu memilih menyusui atau tidak.

Dimulai pada tahun 1999 La Leche League Guatemala memperkenalkan sejumlah perubahan lain untuk programnya. LLLG lebih jelas difokuskan pada wanita hamil dan ibu dari anak-anak kurang dari usia 6 bulan. Misalnya, konselor meningkatkan kunjungan rumah untuk wanita hamil dan mengundang mereka untuk menghadiri kelompok dukungan ibu-ke-ibu. LLLG mengintensifkan usaha untuk menyampaikan pesan utama. Misalnya, tentang segera menyusui dan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama dan meminta ibu hamil untuk mengingatkan mereka ketika melahirkan sehingga konselor bisa memberikan dukungan pada ibu dan menjawab pertanyaan mereka.

LLLG melatih para konselor untuk menegosiasi perbaikan praktek  menyusui dengan ibu selama kunjungan rumah. LLLG juga memberikan pelatihan yang lebih praktis untuk konselor baru. Konselor menghabiskan sekitar 50% waktu lebih banyak selama 35-45 jam pelatihan mempraktikkan keterampilan yang baru diperoleh dengan peserta lainnya.
LLLG lebih jelas
membatasi wilayah geografis di mana konselor bekerja, membuat upaya eksplisit untuk merekrut dan melatih konselor di wilayah geografis, dan mempekerjakan empat penghubung masyarakat, yang dibayar dengan gaji sederhana untuk memotivasi dan memberikan dukungan untuk konselor baru

Selama 1 tahun setelah program dilaksanakan, diadakan sensus pada wanita yang telah menjalani maupun mengetahui program ini. Dari sensus tersebut rata-rata komunitas yang melakukan pemberian ASI secara dini  signifikan lebih tinggi pada komunitas program dibandingkan komunitas control. Tetapi perubahan dari waktu ke waktu antara komunitas program dan control tidak signifikan berbeda. Meskipun didapatkan 45% wanita dalam komunitas program yang mendapat kunjungan rumah dan mengikuti kelompok dukungan ibu-ke-ibu  melakukan ASI eksklusif sedangka pada komunitas program yang tidak berpartisipasi dalam kedua aktivitas tersebut yang melakukan ASI eksklusif sebesar 14%.
Selain itu, perempuan yang terpapar kegiatan dukungan ibu-ke-ibu selama tahun berikutnya berdasarkan sensus dan survei meningkat dan memungkinkan nantinya menyusui secara eksklusif dibandingkan periode sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa program dapat menjadi lebih efektif dari waktu ke waktu.

Referensi :
http://www.scielosp.org/pdf/rpsp/v12n3/12874

Antenatal Education and Postnatal Support Strategies for Improving Rates of Exclusive Breastfeeding : randomised controlled trial



Tujuan penelitian ini adalah untuk menginvestigasi apakah edukasi menyusui antenatal atau dukungan laktasi postnatal tunggal meningkatkan pemberian ASI eksklusif dibandingkan dengan perawatan rutin rumah sakit. Penelitian dilakukan di Singapore. Pada penelitian ini dilakukan 3 intervensi/ program yaitu perawatan standard rumah sakit, satu sesi edukasi antenatal dan 2 sesi dukungan laktasi postnatal. Peserta terdiri dari 450 wanita dengan kehamilan tanpa komplikasi.  
Peserta direkrut dari wanita hamil sehat yang mendatangi klinik antenatal Rumah Sakit Universitas Nasional  Singapore, dan wanita rawat jalan dari klinik obstetric yang dipilih oleh asisten peneliti yang berpengalaman dalam konsultasi laktasi. Wanita yang masuk dalam syarat peserta program adalah usia kehamilan lebih dari 34 minggu saat melahirkan, mengungkapkan keinginannya untuk menyusui, dan tidak memilik penyakit komorbid yang kontraindikasi maupun menhambat menyusui.
Peserta kemudian dibagi menjadi 3 kelompok program secara random, yaitu kelompok 1 sebagai kelompok control (program standard perawatn RS berupa perawatan antenatal, intrapartum, postnatal tanpa intervensi khusus). Perawatan tersebut termasuk kelas antenatal, yang mempelajari kebutuhan makan bayi dan kunjungan postnatal oleh konsultan laktasi. Kelompok 2 mendapatkan program satu sesi edukasi menyusui dimana mereka diberikan tayangan video edukasi 16 menit yang berjudul “ 14 Langkah untuk Menyusui yang Lebih Baik” (In Joy Videos, Boulder, CO), yang memperkenalkan peserta terhadap manfaat dan keuntungan menyusui, mendemonstrasikan posisi menyusui yang tepat, dan perawatan payudara dan hal-hal penting yang perlu diperhatikan. Peserta dalam program ini juga diberikan panduan cetak menyusui dan mendapat kesempatan berdiskusi dengan konselor laktasi selama 15 menit.
Kelompok 3 mendaptkan program berupa 2 sesi dukungan laktasi postanal. Pada sesi dukungan 1, peserta dikunjungi oleh konsultan laktasi pada 3 hari pertama postnatal sebelum pulang dari RS. Peserta juga mendapat panduan cetak yang sama dengan program ke-2 mengenai mmenyusui selama kunjungan. Sesi dukungan Kedua dilakukan selama kunjungan postnatal 1-2 minggu setelah melahirkan. Selama 2 pertemuan tersebut, peserta mendapatkan  instruksi cara menempelkan tangan, posisi yang sesuai, dan teknik-teknik lainnya untuk menghindari komplikasi. Setiap pertemua berlangsung kurang lebih 30 menit.
Program dilakukan secara rutin selama 6 bulan. Kemudian dilakukan follow up selama 6 bulan berupa diari makanan bayyi. Wawancara dilakukan pertama kali sebelum keluar rumah sakit, kemudian pada minggu ke-2 dan ke-6 wawancara dilakukan sat kunjungan rutin postnatal. Pada kunjungan tersebut peserta diminta mengisi kuisioner standard mengenai makanan bayi. Selanjutnya wawancara dilanjutkan pada bulan ke-3 dan ke-6 melalui telefon.
Hasil dari pintervensi program selama 6 bulan, didapatkan bahwa wanita pada kelompok dengan program dukungan laktasi postnatal lebih banyak yang menyusui secara eksklusif  dibandingkan peserta yang hanya dalam program standard perawatan rutin RS. Wanita yang mendapatkan program edukasi antenatal lebih banyak yang menyusui eksklusif pada minggu ke-6, bulan ke-3 dan bulan ke-6 postnatal. Wanita yang menerima dukungan laktasi postnatal lebih cenderung menyusui eksklusif atau predominan pada dua minggu setelah melahirkan dibandingkan dengan perempuan yang menerima program edukasi antenatal. Tingkat  menyusui minggu ke-6 setelah melahirkan juga lebih tinggi pada kelompok dukungan postnatal dibandingkan dengan wanita yang menerima perawatan rutin.
Kedua program intervensi berupa edukasi antenatal maupun dukungan postnatal sebagai intervensi tunggal di RS keduanya mampu meningkatkan jumlah ibu yang melakukan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pasca melahirkan.



Referensi :
http://www.bmj.com/content/bmj/335/7620/596.full.pdf

EfektifitasPenyuluhan terhadap Peningkatan Pengetahuan SAntri mengenai Trichuris trichuria di Pesantren X , Jakarta Timur

Pengetahuan sangat penting dalam mempengaruhi sikap dan perilakuseseorang, begitu juga dengan pengetahuan mengenai T.trichiura dan upaya pencegahanya. tujuan penelitian ini adalah mengetahui efektivitas penyuluhan dalam meningkatkan pengetahuan mengenai T.trichiura. penelitian ini dilakukan di psantren X,Jakarta Timur dengan desain pre-post study. Data diambil pada tanggal 22 Januari 2011 dengan memberikan kuisioner kepada 154 santri (total sampling). kuisioner berisi pertanyaan mengenai siklus hidup T.trichiura yang diberikan sebelum dan sesudah penyuluhan. hasil menunjukan terdapat perbedaan pengetahuanyang bermakna antara pre dan post penyuluhan. Jadi dapat disimpulkan bahwa metode penyuluhan efektif dalam peningkatan pengetahuan santri terhadap T.Trichuria Referensi :http://www.lib.ui.ac.id/naskahringkas/2016-06/S-pdf-Rio%20Wikanjaya

Perbandingan Penyuluhan Kesehatan Metode Ceramah Tanya Jawab Dengan Penyuluhan Kesehatan Menggunakan Buku Kecacingan Dalam Mencegah Reinfeksi Ascaris lumbricoides Pada Anak Sekolah Dasar

Prevalensi ascarasis pada anak usia sekolah dasar masih cukup tinggi. Pengobatan kecacingan tanpa disertai perubahan praktek kesehatan akan menyebabkan angka reinfeksi ascariasis tetap tinggi. Perubahan praktek kesehatan dapat dilakukan melalui penyuluhan kesehatan. Terdapat berbagai metode yang dapat digunakan dalam penyuluhan kesehatan. Penelitian ini membandingkan penyuluhan metode ceramah tanya jawab dengan penyuluhan menggunakan buku kecacingan dalam mencegah reinfeksi ascariasis.Metoda. Penelitian ini merupakan suatu eksperimental quasy yang terletak di Desa Kalikayen Ungaran. Populasi penelitian berasal dari murid kelas 1 dan murid kelas 2 Sekolah Dasar Kalikayen. Seluruh subjek berjumlah 146 orang. Skrining ascariasis dengan menggunakan teknik kualitatif Kato-Katz. Murid sekolah yang positif ascariasis diobati dengan pyrantel pamoat. Selanjutnya pada kedua kelompok murid dilakukan penyuluhan kesehatan setiap minggu selama tiga bulan. Pada SD 01 diberikan penyuluhan metode ceramah, sedangkan di SD 02 menggunakan buku kecacingan. Tiga bulan kemudian kembali dilakukan pemeriksaan feces untuk menilai ascariasis. Hasil. Terdapat peningkatan PSP setelah dilakukan penyuluhan kesehatan (p < 0.01). Metode ceramah lebih baik dari metode buku kecacingan dalam meningkatkan rerata pengetahuan (p = 0.02), namun tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada rerata sikap dan praktek kesehatan. Tidak terdapat perbedaan antara kedua metode penyuluhan dalam mencegah reinfeksi ascariasis (p = 0.595). referensi : http://eprints.undip.ac.id/17659/1/Hotber_ER_Pasaribu.pdf

Efektivitas Penyuluhan terhadap Tingkat Pengetahuan Guru SD di Jakarta Mengenai Pencegahan Cacingan, Tahun 2011

Cacingan merupakan masalah kesehatan di Indonesia terutama pada anak. Pengetahuan mengenai pencegahan berperan penting dalam menanggulangi cacingan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efektivitas penyuluhan dalam meningkatkan pengetahuan guru sekolah dasar (SD) mengenai cacingan. Penelitian menggunakan desain penelitian eksperimental dengan metode pre-post study. Pengambilan data dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 12 Oktober 2011 terhadap 67 orang guru SD yang diminta untuk mengisi kuesioner sebelum dan sesudah penyuluhan. Kuesioner berisi lima pertanyaan mengenai pencegahan infeksi A. lumbricoides, T. trichiura dan O. vermicularis. Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa sebelum penyuluhan guru yang mempunyai tingkat pengetahuan baik adalah 12 orang (17,9%), cukup 21 orang (31,3%), dan kurang 34 orang (50,7%). Setelah penyuluhan, guru dengan tingkat pengetahuan baik adalah 39 orang (58,2%), cukup 24 orang (35,8%), dan kurang 4 orang (6,0%). Sebelum penyuluhan, pertanyaan yang paling banyak tidak dimengerti responden adalah kapan waktu memberikan obat cacing (hanya 6% yang menjawab benar). Berdasarkan uji marginal homogeneity didapatkan perbedaan bermakna (p<0,01) pada tingkat pengetahuan guru sebelum dan sesudah penyuluhan kesehatan. Disimpulkan bahwa penyuluhan efektif dalam meningkatkan pengetahuan guru SD mengenai pencegahan cacingan. Referensi : www.journal.ui.ac.id/index.php/eJKI/article/view/3003/2462