Article 9: Educational Intervention - Public through Pharmacists

Article # 9:

Title: Active educational intervention as a tool to improve safe and appropriate use of antibiotics

 

Link: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5059833/
           
Aim of Intervention:  To evaluate whether education might be a potential strategy to promote safer use of antibiotics and reducing self-medication.

Target Population: General Public (Adults)

Target Place: Amman, Jordan

Time Period:  April 2012 – July 2012

Intervention Tool(s): Pharmacist engaged participant in a 10 min dialogue session during which the pharmacist asked the participant to fill a pre-educational questionnaire. After this, the participant was verbally educated on one to one basis using educational card contained information based on the published educational materials by the Centre for Disease Control and Prevention. Following the education, the participant was asked to complete a post-education questionnaire.

Technology: Data analysis using SPSS for Windows, version 16.

Results:  Participants’ knowledge of proper and safe antibiotic use in addition to the appropriate awareness regarding antibiotics resistance following pharmacist educational intervention was improved.

Costs: Staff fees, printing of questionnaires and educational information cards.


Personal Reflection: Affordable, slow progress as it requires one on one education and individual willingness to participate.

Effect Of Washing Hands With Soap On Diarrhoea Risk In The Community: A Systematic Review

Diare adalah satu dari tiga pembunuh anak-anak sekarang ini. Di dunia Setidaknya terdapat 20 virus, bakteri, dan protozoa patogen enterik, termasuk Salmonella sp, Shigella sp, Vibrio cholerae, dan rotavirus. Dalam saluran pencernaan manusia, keluar di tinja yang terdapat patogen diare, dan akan melalui lingkungan, yang dapat menyebabkan diare pada  orang lain. Karena diare berasal dari feses, intervensi yang dapat mencegah material fekal memasuki lingkungan anak yang rentan terjangkit  menjadi kunci penting bagi pencegahan diare itu sendiri. Hambatan utama transmisi patogen enterik adalah pembuangan tinja yang aman dan mencuci tangan yang memadai, terutama setelah kontak dengan material fekal dari orang dewasa dan anak-anak. Tangan berfungsi sebagai vektor transmisi patogen enterik dari fekal ke mulut. Oleh karena itu peneliti melakukan review sistematis dari efek mencuci tangan dengan sabun terhadap risiko diare dan  potensi kematian karena diare diare.

Penelitian dilakukan dengan cara mengidentifikasi studi yang diterbitkan dalam bahasa Inggris sampai dengan akhir tahun 2002 yang berkaitan mencuci tangan dengan risiko infeksi penyakit usus atau diare di masyarakat. studi secara sistematis dicari menggunakan kata kunci yang berkaitan dengan mencuci tangan, penggunaan sabun, serta istilah-istilah penyakit seperti diare, tipus, enterik, kolera, shigellosis, disentri, dan kematian. Pencarian juga dilakukan dengan penulis mengkoleksi  dan meninjau artikel ini sendiri. Tidak ada batasan pada tanggal atau letak geografis. Selain itu, peneliti menghadiri konferensi kebersihan dan menanyakan apakah mereka memiliki data yang tidak dipublikasikan yang berhubungan dengan mencuci tangan, tapi tidak ada data yang sesuai untuk diidentifikasi.

Tujuh penelitian melaporkan terdapat dampak positif dari intervensi mempromosikan mencuci tangan. Sepuluh Studi yang dilakukan secara observasional, praktik mencuci tangan dapat menurunkan sejumlah infeksi penyakit enterik dan memiliki risiko relatif lebih tinggi untuk terkena penyakit diare terkait dengan tidak mencuci tangan. Studi diterapkan sepuluh di Asia, tiga di Afrika, dua di Amerika Latin, satu di Amerika Serikat, dan satu di Australia. Sembilan dilakukan di daerah perkotaan, lima di daerah pedesaan, satu di baik perkotaan dan pedesaan, satu di kamp pengungsi, dan satu tidak menentukan lokasi. Tiga studi yang ditetapkan di fasilitas penitipan anak. Selain itu, salah satu studi case-control Mengatakan, pengurangan potensi kematian karena diare dengan intervensi mencuci tangan  sulit untuk didapatkan. Studi lainnya juga mengatakan mencuci tangan dan kematian karena diare  tidak menunjukkan adanya hubungan berarti.

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa mencuci tangan memiliki efek yang baik terhadap penurunan terjadinya diare dan dapat mencegah terjadinya diare. Akan tetapi mencuci tangan tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan penurunan angka kematian akibat diare, karena kematian anak bisa disebabkan oleh banyak faktor lainnya.



Curtis V, Cairncross S. Effect of washing hands with soap on diarrhoea risk in the community: a systematic review. Lancet Infectious Diseases. 2003;3(5):275–81.

Family Foundation Program

Program Family Foundation (FF) adalah suatu program psikoedukasional berkelompok yang dilakukan dalam 8 sesi. Program ini didesain untuk membantu pasangan dalam transisi menjadi orang tua. Banyak studi telah dilakukan dan menunjukan efikasi FF dalam mencapai tujuan tersebut. FF terbukti dapat menurunkan depresi pada ibu, stres pada orang tua, dan perilaku kasar kepada anak.

Program ini terdiri dari 4 sesi prenatal dan 4 sesi postnatal (saat anak berusia 4-6 bulan). Pada sesi prenatal para pasangan dikenalkan kepada konsep dan keterampilan untuk menguatkan hubungan mereka dan keterampilan mengasuh anak. Pada sesi postnatal, materi ini kembali direview dengan menggunakan pengalaman yang telah dialami para pasangan. Program ini berjalan dalam kelompok-kelompok kecil (6-10 pasangan) dengan ketua kelompok wanita dan pria sebagai role model. Kegiatan pada setiap sesi dilaksanakan dengan metode presentasi, latihan komunikasi, tugas tertulis, video dan diskusi.


Ketua kelompok mendapatkan training khusus selama 3 hari sebelumya.


Sebuah RCT oleh Feinberg (2014) menilai agresivitas fisik dan psikis pada pasangan yang mengikuti FF dengan Revised Conflict Tactics Scale (CTS 2) dan Parent–Child Conflict Tactics Scales. Hasil penelitian tersebut menunjukkan tidak ada perbaikan yang signifikan pada pasangan-pasangan yang berresiko rendah. Namun, pada pasangan yang berresiko lebih tinggi, terdapat efek positif yang menurunkan kecenderungan agresif kepada pasangan maupun anak.

The Effect of Handwashing at Recommended Times with Water Alone and With Soap on Child Diarrhea in Rural Bangladesh: An Observational Study

Banyak penelitian yang secara konsisten menunjukkan bahwa mencuci tangan dengan sabun dapat mengurangi penyakit diare pada anak. Tetapi pada kenyataannya sulit untuk membiasakan mencuci tangan dengan sabun karena kegiatan ini melibatkan perubahan perilaku yang cukup kompleks. Oleh karena itu meskipun program kesehatan ini cukup gencar dipromosikan di masyarakat dengan angka kematian anak yang tinggi, umumnya praktik ini masih jarang dilaksanakan. Mencuci tangan dengan air saja masih lebih sering dilakukan karena mahalnya sabun bila dibandingkan dengan pendapatan rata-rata masyarakat. Program promosi cuci tangan terfokus pada lima waktu penting untuk mencuci tangan yaitu: setelah buang air besar, setelah memegang kotoran anak atau mencebok anak, sebelum menyiapkan makanan, sebelum memberikan makan anak, dan sebelum makan. Dimana program ini akan membuat ibu-ibu dari kalangan miskin akan mencuci tangan mereka setidaknya 10 kali perhari.  Lebih lanjut, Jika ibu juga diminta untuk mencuci tangan setelah menyentuh hewan peliharaan, kotoran hewan dan setelah batuk atau bersin,  jumlah mencuci tangan dengan sabun akan melebihi 20 kali per hari. Dalam rumah tangga berpendapatan rendah, sabun digunakan secara seksama untuk menghemat uang yang dapat digunakan untuk membeli makanan dan kebutuhan lainnya. Seringnya mencuci tangan dengan sabun, terutama jika dilakukan oleh semua anggota keluarga, akan berpengaruh terhadap keuangan rumah tangga. Sebuah tinjauan menyatakan intervensi komunikasi kesehatan di negara-negara berpenghasilan rendah yang berfokus pada beberapa pesan akan lebih efektif daripada intervensi komunikasi yang menargetkan banyak perubahan perilaku. Langkah yang tepat dapat meningkatkan efektivitas intervensi promosi mencuci tangan untuk mendorong mencuci tangan hanya pada waktu yang paling penting untuk memutus transmisi patogen. Akhirnya,mencuci tangan dengan air saja menjadi perilaku yang akan lebih mudah untuk dilakukan.

Penelitian dilakukan  kepada 347 rumah tangga dari 50 desa di pedesaan Bangladesh pada tahun 2007. Selama 2 tahun, komunitas yang telah dilatih diminta untuk mengunjungi setiap rumah tangga yang terdaftar dan mengumpulkan informasi tentang terjadinya diare pada anak dengan usia kurang dari 5 tahun. kemudian dibandingkan angka kejadian diare antara rumah tangga yang mencuci tangan dengan air sebelum menyiapkan makanan dan yang tidak mencuci tangan sebelum menyiapkan makanan. Antara rumah tangga yang mencuci tangan dengan atau tanpa sabun sebelum memberi makan anak, sebelum makan, atau setelah mencebok anak setelah buang air besar.

Hasilnya, terdapat perbedaan signifikan angka kejadian diare antara rumah tangga yang mencuci tangan dengan air dan yang tidak mencuci tangan sebelum menyiapkan dan memberi makan pada anak. Tetapi tidak terdapat perbedaan angka kejadian yang signifikan antara rumah tangga yang mencuci tangan dengan sabun dan tanpa menggunakan sabun sebelum menyiapkan dan memberi makan pada anak, sebelum makan, dan setelah mencebok anak.

Dari penelitian ini, mungkin dapat kita petik beberapa pelajaran seperti betapa sukarnya meminta ibu-ibu dari golongan kurang mampu untuk menuci tangan dengan sabun sesering yang direkomendasikan oleh institusi kesehatan dikarenakan keterbatasan biaya. Tetapi, setidaknya kita bisa sedikit mengurangi resiko diare dengan memberikan edukasi yang tidak terlalu kompleks dan sederhana yang masih bisa dijangkau oleh masyarakat dari golongan kurang mampu.


Luby, Stephen P. et al. “The Effect of Handwashing at Recommended Times with Water Alone and With Soap on Child Diarrhea in Rural Bangladesh: An Observational Study.” Ed. Zulfiqar A. Bhutta. PLoS Medicine 8.6 (2011): e1001052. PMC. Web. 31 Oct. 2016.

The Church United to Stop HIV (CUSH)

CUSH adalah program kolaboratif antara Broward Country Health Department dan lembaga keagamaan setempat yang dimulai pada tahun 1999. Program ini bertujuan untuk melatih para pemimpin dan membentuk kongregasi berbasis keagamaan untuk membangun program pendidikan HIV, program pelayanan HIV,dan program bimbingan bagi seorang penderita HIV positif.


Program yang dijalankan adalah para staf dari CUSH membuat buku manual, brosur dan pamflet. Kemudian program dijalanan untuk target populasi yaitu calon pemimpin edukator yang berbasis keagamaan, dewasa dan dewasa muda yang berisiko terhadap HIV/AIDS. Materi yang dibahas untuk usia dewasa mengenai perilaku yang berisiko menjadi HIV/AIDS, penyalahgunaan zat, cara dan langkah menghadapi suatu kasus HIV/AIDS atau penyalahgunaan zat, serta kesehatan mental dan spiritual. Materi untuk dewasa muda berupa pengenalan tentang fakta-fakta HI/AIDS, cara transmisi HIV, informasi tentang kondom, kemampuan untuk bersosilaisasi, dan perilaku berisiko terhadap HIV/AIDS atau penyalahgunaan zat.



Program ini sangat berhasil di komunitas Florida Selatan, dimana berhasil mengedukasi pencegahan pada 32.000 orang, melatih 2850 pemimpin edukasi berbasis keagamaan, menilai risiko pada >1000 orang, konsultasi dan tes HIV pada 8000 orang. Secara keseluruhan program ini berhasil untuk mencegah komunitas dengan risiko tinggi HIV karena berhasil masuk ke dalam kebudayaan dan kepercayaan masyarakat setempat

MOSAIC: Mentor Mother Support to Reduce Intimate Partner Violence


MOSAIC (MOthers' Advocates In the Community) adalah suatu percobaan yang dilakukan di layanan kesehatan primer di Australia. Percobaan ini menilai apakah dukungan mentor kepada ibu dapat mengurangi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan depresi, serta meningkatkan kesehatan, kesejahteraan dan ikatan ibu-anak pada ibu hamil atau ibu anak yang masih balita. Intervensi ini dilakukan pada wanita yang dinilai pernah dilecehkan atau memiliki gejala pelecehan. Penilaian dilakukan oleh dokter dan perawat pada fasilitas kesehatan primer.

MOSAIC awalnya merekrut beberapa koordinator untuk mendukung dan mengawasi para mentor. Koordinator kemudian merekrut mentor melalui iklan.  Kandidat mentor menjalani screening (wawancara, aplikasi tertulis, surat keterangan polisi dan hakim) serta mendapatkan training selama 5 hari. Training ini difokuskan kepada materi seperti: 
1. Nilai-nilai dan perilaku seorang mentor
2. Memahami depresi pada ibu
3. Kemampuan komunikasi
4. Cara efektif untuk memberikan dukungan emosional kepada para ibu
5. Sifat teman yang mendukung
6. Pentingnya menjaga rahasia
7. Memahami perbedaan budaya
8. Kesehatan dan perawatan diri pada perempuan
9. Masalah duka dan kehilangan


Para mentor ini kemudian dipasangkan kepada para wanita yang berresiko. Mereka kemudian menghubungi wanita tersebut secara rutin selama 12 bulan. Layanan yang diberikan para mentor antara lain:
1. Memberikan dukungan dan menjadi teman yang mendengarkan
2. Mempertahankan kontak (rata-rata setiap minggu) dan dukungan memlalui telepon, kunjungan rumah dan pergi bersama.
3. Membantu mengembangkan strategi keamanan
4. Mengembangkan hubungan saling percaya dan memberikan harapan
5. Memberi informasi dan dukungan mengenai parenting
6. Memberikan dukungan dan membantu mendapatkan layanan komunitas (terutama terkait KDRT)

Tidak ada standar tertentu untuk pemberian layanan tersebut.

Berikut adalah layanan yang dilapokan oleh para peserta telah ditawarkan oleh mentornya:



Dalam RCT, MOSAIC menurunkan KDRT dengan perbedaan yang signifikan antara wanita yang diintervensi dan yang tidak. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam kesejahteraan fisik maupun mental pada wanita tersebut. Secara umum intervensi ini memiliki hasil yang menjanjikan.


Diarrhea prevention through food safety education

Diare terus mewabah di negara berkembang, menyebabkan lebih dari 3 juta kematian pada anak. Lebih dari 1,5 miliar kasus diare telah dilaporkan terjadi pada anak-anak di bawah 5 tahun yang mengakibatkan lebih dari 3 juta kematian.  Selain itu, air yang terkontaminasi maupun makanan yang terkontaminasi juga memainkan peran penting dalam etiologi diare. Kemungkinan kontaminasi makanan dan kontaminasi silang, terjadi lebih tinggi karena sosio-ekonomi yang rendah untuk memiliki kondisi lingkungan, kebersihan pribadi yang buruk. Kualitas dan pasokan air yang tidak mencukupi dan juga tidak higienis. Penyimpanan makanan dan proses persiapan makanan yang juga  tidak higienis. Kebersihan pribadi dan sanitasi lingkungan yang baik sangat penting dalam pencegahan diare. Pendidikan kesehatan dan kebersihan pangan harus mendapat prioritas tinggi. Untuk pendidikan kesehatan dan kebersihan pangan, terutama ditekankan pada pengasuh terutama ibu-ibu. Prinsip-prinsip keamanan pangan harus dipertimbangkan sebagai intervensi penting dalam pencegahan diare pada anak-anak.

Penelitian dilakukan pada ibu dengan peghasilan rendah dan memiliki anak-anak dengan usia 6-24 bulan. Kemudian ibu-ibu tersebut diberi paket edukasi kebersihan pangan yang dilakukan meliputi 3 hal berikut: mencuci tangan dengan air dan sabun, hindari memakan makanan sisa dan menjaga lingkungan sekitar tetap bersih. Edukasi ini disampaikan dengan cara,memberikan kuliah singkat, slogan, poster, grafik, kartu flash, dan bermain peran. Kalender dan selebaran juga diserahkan kepada ibu-ibu sebagai bahan pendidikan. Kemudian dipelajari perbedaan angka kejadian diare pada anak sebelum dan sesudah ibu-ibu diberi intervensi.

Hasilnya, adalah persentasi anak tanpa diare meningkat dari 10% menjadi 65%. persentasi anak dengan diare ringan tetap berkisar diangka 10%. Persentasi anak dengan diare sedang, turun drastis dari angka 60% menjadi sekitar 10%. Dan persentasi anak dengan diare berat turun dari 20% menjadi 15%.

Artinya, pencegahan diare melalui intervensi dengan cara mengedukasi ibu-ibu yang memiliki anak berusia 6-12 bulan terbukti efektif.



Sheth M, Obrah M. Diarrhea prevention through food safety education. Indian Pediatr.2004;71:879–882. doi: 10.1007/BF02830824. [PubMed] [Cross Ref]

ePREP: Computer-based Prevention of Domestic Violence

ePREP (electronic Prevention and Relationship Enhancement Program) adalah suatu program yang bertujuan untuk mencegah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Dengan dilakukan secara online, program ini diharapkan bisa lebih fleksibel dan mencakup target populasi yang lebih luas. 

Berbagai studi RCT telah dilakukan untuk melihat efektivitas ePREP dan hasilnya mennjukan penurunan pada kejadian KDRT. Sebuah RCT yang dilakukan oleh Braithwaite dan Fincham (2014) meneliti perbedaan pasangan yang mendapatkan intervensi ePREP dan pasangan yang mendapatkan plasebo aktif (intervensi yang lain). Perbedaan intervensi pada kedua kelompok tersebut dapat dilihat pada tabel 1.





Peserta studi ini adalah pasangan yang sudah menikah yang direkrut melalui iklan dengan kriteria inklusi tertentu.


Pada awal intervensi ePREP, para pasangan datang ke lab untuk mendapatkan presentasi mengenai jalannya program selama kurang lebih 1 jam. Para peserta juga mendapatkan kopi tertulis dari presentasi untuk mereview jika dibutuhkan. Para peserta kemudian mendapatkan email secara individual setiap minggunya selama 6 minggu. Email ini berisi tugas (yang harus diselesaikan sebagai pasangan) dan tautan ke materi-materi online (berbentuk video) mengenai tugas tersebut. Email tersebut juga mencantumkan instruksi berikut: "Untuk mendapatkan manfaat yang maksimal, Anda harus mengaplikasikan materi yang Anda dapatkan secara aktif".


Para peserta mengikuti penilaian baseline sebelum intervensi dan follow up pada 6 minggu dan 1 tahun setelah intervensi. Penilaian dilakukan menggunakan Revised Conflicts Tactic Scale (CTS-2) untuk melihat metode penyelesaian konflik, termasuk di dalamnya agresivitas fisik maupun psikologis. Penilaian ini dilakukan untuk mendapatkan laporan kejadian KDRT secara langsung (self reported) atau melalui pasangannya (couple reported).


Hasil penelitian menunjukkan bahwa ePREP berhasil menurunkan agresivitas fisik maupun psikologis. Perubahan ini juga didapatkan menetap pada follow up 1 tahun kemudian. Dari data tersebut bisa disimpulkan bahwa ePREP adalah suatu metode yang mudah, murah dan efektif untuk mencegah KDRT.





UPAYA PEMBERANTASAN KECACINGAN DI SEKOLAH DASAR

Infeksi kecacingan yang disebabkan oleh Soil Transmitted Helminths (STH) merupakan masalah kesehatan masyarakat Indonesia. Upaya pemberantasan dan pencegahan penyakit kecacingan di Indonesia secara nasional dimulai tahun 1975 dan prevalensinya tahun 2003 turun sampai 8,9%. Namun dekade terakhir terjadi peningkatan prevalensi termasuk di Jakarta. Salah satu upaya pemberantasan kecacingan adalah dengan memberikan edukasi kecacingan untuk meningkatkan perilaku kebersihan diri sehingga dapat mencegah penyakit kecacingan. Penelitian ini bertujuan mengetahui angka kecacingan siswa SDN Pagi Paseban Jakarta Pusat setelah dilakukan edukasi kecacingan. Penelitian dilakukan secara analitik observasional dari bulan Desember 2010 sampai Juni 2011 terhadap 113 siswa melalui pemeriksaan feses dan kuesioner mengenai data perilaku kebersihan diri. Edukasi kecacingan diberikan kepada seluruh siswa di setiap kelas dan juga kepada pengelola sekolah dengan metode ceramah dan bantuan flipchart serta demonstrasi peragaan fisik cacing yang diletakan dalam tabung tabung gelas. Materi edukasi meliputi informasi jenis cacing STH,bentuk cacing, tempat hidup di badan manusia, cara penularan penyakit cacing, bahaya penyakit cacing, cara pencegahan (meliputi perilaku hidup bersih sehat) dan cara pemberantasannya. Hasil : Angka infeksi sebelum edukasi adalah 11,5%dengan spesies Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura serta infeksi campur A. lumbricoides dan Trichuris trichiura. Enam bulan setelah edukasi angka infeksi turun bermakna menjadi 0,9% (p=0,002) dengan jenis infeksi campur A. lumbricoides dan T. trichiura. referensi : http://journal.ui.ac.id/index.php/health/article/download/1631/1361.

Community-based intervention for blood pressure reduction in Nepal (COBIN trial)


Intervensi berbasis komunitas ini dilaksanakan di Lekhnath Municipality, Nepal yang merupakan daerah semiurban dengan pelayanan kesehatan terbatas. Dengan melatih Female Community Health Volunteers (FCHVs) atau yang lebih dikenal dengan sebutan ‘kader kesehatan’ di Indonesia, diharapkan mereka terampil dalam memantau tekanan darah, memberikan konseling promosi kesehatan, dan merujuk pasien beresiko ke pelayanan kesehatan terdekat untuk mendapat pengobatan hipertensi, sehingga hipertensi dapat dicegah dan dapat terkontrol pada pasien yang telah terdiagnosis hipertensi.

FCHVs yang berpartisipasi mendapat paket pelatihan selama lima hari yang terdiri dari (1) pengenalan dan pentingnya noncommunicable disease dan/atau hipertensi; (2) identifikasi populasi beresiko menggunakan checklist meliputi kadar asupan garam, physical inactivity, merokok, dan konsumsi alcohol; (3) skrining tekanan darah menggunakan sphygmomanometer digital, pengukutan tinggi dan berat badan, dan merujuk bagi yang tekanan darahnya >140/90 mmHg; (4) memberikan edukasi kesehatan tentang faktor resiko utama; dan (5) pencatatan, pelaporan, dan follow up. Setelah mendapatkan pelatihan, FCHVs diberi sphygmomanometer digital, timbangan, pita ukur, panduan FCHV, dan register pencatatan. Masing-masing FCHV akan mengunjungi rumah tangga yang dipilih 3 kali selama setahun, di mana FCHV akan memberikan konseling dan mengukur tekanan darah serta tinggi dan berat badan responden. Jika tergolong dalam hipertensi, maka responden akan diminta untuk mengunjungi fasilitas kesehatan untuk diagnosis dan tatalaksana lebih lanjut. Untuk responden yang menderita hipertensi, FCHV juga memantau apakah responden meminum obat teratur sesuai anjuran dokter.

Setelah intervensi 1 tahun, dilakukan follow up oleh tenaga kesehatan professional, seperti dokter atau perawat. Outcome primer yang diharapkan adalah penurunan rata-rata tekanan darah sistolik pada populasi hipertensi dan prehipertensi. Sedangkan outcome sekunder yaitu penurunan rata-rata tekanan darah diastolic dan proporsi faktor resiko (merokok, konsumsi alcohol, asupan garam, indeks massa tubuh).

Sumber: Neupane, D., McLachlan, C. S., Christensen, B., Karki, A., Perry, H. B., & Kallestrup, P. (2016). Community-based intervention for blood pressure reduction in Nepal (COBIN trial): study protocol for a cluster-randomized controlled trial. Trials, 17, 292. http://doi.org/10.1186/s13063-016-1412-3

A community-driven hypertension treatment group in rural Honduras



Dalam artikel ini dibahas mengenai program pemberdayaan masyarakat di daerah pedesaan Honduras yang terbukti meningkatkan kepatuhan pengobatan pasien hipertensi yang dalam pelaksanaannya dibantu oleh Community Health Workers (CHWs). Sebagaimana di Indonesia, masyarakat pedesaan dengan penghasilan rendah cenderung sulit untuk mendapatkan akses kesehatan, sehingga kepatuhan pasien hipertensi untuk minum obat teratur sangat rendah. Program ini dilaksanakan di desa Punta Ocote, Honduras yang membutuhkan waktu 30 menit dengan bus untuk menuju apootek terdekat.

Dengan bantuan CHWs masyarakat yang menderita hipertensi membentuk kelompok pengobatan hipertensi, program ini berjalan menggunakan sistem disease-specific micro-insurance untuk membayar obat-obatan dan biaya operasional kelompok. Setiap anggota kelompok membayar 50 Lempira/bulan (~$2.60) kepada ketua kelompok yang terpilih pada pertemuan bulanan. Obat dibeli dalam jumlah besar/kulakan dari supplier. Selain itu, uang yang terkumpul juga digunakan untuk mendatangkan dokter ke desa dan bekerja 6 jam dalam satu bulan, terutama saat pertemuan bulanan. Besarnya biaya yang harus dibayar ini lebih murah dibanding biaya transportasi dan menebus obat ke apotek terdekat.

CHWs yang telah terlatih sebelumnya, berperan dalam mengoordinasi kelompok, memfasilitasi pertemuan bulanan, dan membantu memesankan obat-obatan. Saat pertemuan bulanan, CHWs memberikan edukasi terkait hipertensi, memimpin diskusi, membantu membagikan obat, mengukur tekanan darah, dan men-triase anggota kelompok yang membutuhkan konsultasi dengan dokter.

Sumber: Reiger, S., Harris, J. R., Chan, K. C. G., Oqueli, H. L., & Kohn, M. (2015). A community-driven hypertension treatment group in rural Honduras. Global Health Action, 8, 10.3402/gha.v8.28041. http://doi.org/10.3402/gha.v8.28041